Selasa, 10 Desember 2013

Wanitaku, aku mencintaimu

Aku tersentak. Kaget. Aku dimana? Ruang gelap, sempit, namun hangat.
Sebentar. Aku merasa sangat bahagia disini. Ah, aku berasal dari mana? Entahlah, aku tak mau memikirkan apa yang membuatku mengernyitkan kening. Aku tengah bahagia, jadi jangan ganggu. Enyahlah segala tanya.

Oh, semesta rongga dada menyempit. Sesak akan bahagia. Aku pun merasakan ada orang lain yang lebih bahagia dariku dan itu menambah kebahagianku. Siapapun kamu, kamu membuatku tersenyum tulus. Usap cintamu terasa begitu kental menyelimuti aku di ruang sempit ini.

“Tuhan, aku betah berlama-lama disini.” Ah iya, aku punya Tuhan. Tuhan tolong bantu aku menjawab segala tanya yang sebenarnya menggangguku sejak tadi. Aku berada dimana? Asalku dari mana? Apa yang membuatku bahagia sampai segila ini? Siapa wanita itu, yang bahagianya melebihi bahagiaku, namun itu menjadi alasanku untuk lebih berbahagia? Oh, shit! Aku terlena oleh senyumnya.

Inikah cinta, Tuhan? Sesederhana inikah cinta? Bahkan aku tak punya alasan mengapa aku bisa sebahagia ini. Sebahagia melihat dia bahagia. Karena senyumnya? Tawanya? Belai lembut tangannya? Peluknya? Oh, bukan. Semuanya telah satu paket. Dia sungguh wanita sempurna. Izinkan aku mencintainya hingga nafas kembali kepadaMu, Tuhan. Lalu setelah itu, aku akan memintaMu untuk menyatukan kami kembali di taman firdausMu.

Aku tak ingin yang lain, Tuhan. Aku hanya ingin tetap sebahagia ini. Sebahagia memperhatikan ia. Wanitaku. Iya. Apa yang diinginkan oleh manusia seperti aku selain berhenti pada hal yang mampu membuatnya bahagia. Bukankah setiap manusia pasti menginginkan dan mencari hal tersebut. Dan kini? Lihat aku! Aku telah sampai pada puncak kebahagiaan, meski aku... hah? Aku sebenarnya siapa? Namaku? Oh, Tuhan tolong segera bantu aku menjawab segala tanya itu.

Lama aku menanti jawabMu, lalu...
“Alastu birabbikum (Bukankah aku ini Tuhanmu)”
“Balaa, syahidnaa (Benar, kami bersaksi –atas itu-)”
Seketika aku langsung bersujud di ruang sempit itu. Seraya memohon ampun.
“Maafkan hambaMu yang bodoh ini, Tuhan. Terima kasih untuk ruh yang telah kau titipkan pada hambaMu yang hina ini. Hamba mohon agar Kau tetapkan aku untuk berada di garisMu. Sungguh aku menjadi saksi atas kebesaranMu. Ampuni aku, Tuhan.”

Dan ternyata aku hanya segumpal darah yang telah berubah menjadi segumpal daging dan baru saja dititipi ruh. Usiaku baru 4 bulan. Aku tercekat. Lalu tak mampu berkata apa-apa selain memujiNya. KebesaranNya. KeagunganNya. Terima kasih, Tuhan.

Wanita itu? Wanita yang mampu menjadi satu-satunya alasanku untuk berbahagia. Dia, ibuku. Calon ibuku. Terima kasih atas kebahagiaanmu menyambutku, bu. Andai kau tahu, aku pun bahagia. Sangat bahagia. Senyummu, tawamu, belai lembut tanganmu, pelukmu mampu menambah setiap inchi kebahagiaanku.

Bu, aku mencintaimu. Sejak pertama kali ruh ditiupkan kepadaku. Dan sampai ruh ini kembali kepadaNya dan berganti dengan keabadian, aku tetap mencintaimu.

Jumat, 31 Mei 2013

Si Bontot yang Belajar Berdiri di Atas Dua Kakinya Sendiri


Memang belum mampu sempurna aku berdiri tegak di atas dua kakiku sendiri, hanya saja setidaknya aku sedang berusaha untuk memampukan diri. Itu yang kutau saat ini.


Aku bukanlah seseorang yang berasal dari keluarga terpandang. Aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Rumah orang tuaku dulunya adalah sebuah pabrik. Yang kemudian dijadikan rumah karena tak lagi mampu untuk membayar uang sewa rumah. Pabrik yang dulunya digunakan untuk berproduksi pun tak lagi beroperasi karena kebangkrutann yang dialami ayah. Tapi ayah tak pernah menyerah. Ia mulai mencari pekerjaan yang lain untuk menyambung hidup keluarganya. Ah iya, pabrik ayah itu bukan pabrik seperti kebanyakan pabrik di jabodetabek lho. Pabrik itu mempunyai luas “6 bata” (ini istilah di sunda, aku kurang begitu tau ukuran pasnya dalam satuan meter), cukup besar memang hanya saja yang mampu untuk ditinggali adalah setengah bagian pabrik. Karena pabrik itu sudah terlalu sepuh, sehingga setengah bagian roboh karena dimakan usia, hehe. Setengah bagian pabrik itu ayah renov hingga mempunyai dua kamar, satu ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Rumah kami tak berdindingkan tembok yang kokoh. Dinding rumah kami begitu istimewa, ia banyak memiliki ruang ventilasi udara, sehingga jika pagi datang, cahaya matahari dapat mudah masuk melalui celah-celah dinding rumah kami. Ya, dinding rumah kami dari anyaman bambu (atau di sunda lebih dikenal dengan bilik). Alas rumah pun bukan dari lantai atau tembok atau pun kayu, alas rumah kami natural dari alas bumi pemberian Allah; tanah. Ini berlangsung sampai aku berusia kurang lebih 12 tahun atau saat aku duduk di kelas 1 Mts. Lalu apa yang kedua orang tuaku ajarkan selama 12 tahun itu? Sabar dan syukur. Ah, aku meneteskan air mata untuk sampai pada dua kata itu. Hehehe


Aku adalah si bontot, anak keempat dari empat bersaudara. Biarkan kuceritakan sedikit tentang keistimewaan aku di keluargaku, hehehe

Aku anak perempuan satu-satunya. Saudaraku semuanya berjenis kelamin laki-laki. Oke, bisa dibayangkan dong, si bontot dan anak perempuan satu-satunya? Yap! Dimanja. Tapi tak pernah aku suka kata “dimanja” itu, aku selalu mendoktrin diri bahwa “aku bukanlah anak manja!” mungkin doktrin ini pula yang kemudian mengantarkan aku ke kampus STEI SEBI ini. Seolah ini adalah pembuktian bahwa aku tidaklah manja dan aku mampu untuk hidup mandiri, jauh dari orang tua.


Bukanlah satu hal yang mudah tinggal jauh dari orang tua. Kini tak kupungkiri bahwa aku memanglah manja dan dimanja. Masa lalu yang mungkin tidak berlimpah materi tapi aku salah satu anak yang tidak pernah kehausan kasih sayang. Ayah, ibu ataupun kakak selalu punya cara untuk bisa mengubah tangisku jadi tawa. Masih teringat saat aku merengek meminta mainan yang semua anak seumuranku pasti mempunyai mainan itu, tamagoci. Saat itu ayah dan ibu terus membujukku agar tidak terus menangis, meminta agar aku tau bahwa ayah dan ibu sedang tidak mempunyai uang untuk membelikan aku tamagoci itu, tapi dulu aku masih kecil dan tidak mengerti akan kondisi keluarga saat itu. Setelah ayah dan ibu tak mampu menghentikan tangisku, giliran kakak menepuk punggungku, “neng, ikut aa yuk! Aa beliin tamagoci deh buat neng, tapi neng jangan nangis lagi ya!’. Seketika aku menganggukan kepala. Dan aku baru tau kalau kakak membelikanku tamagoci itu dari uang iuran sekolah yang sebenarnya sudah ditagih oleh pihak sekolah. Tapi aku tak tau bagaimana cara kakak untuk menutupi kekurangan uang iurann itu. Mungkin itu bisa menggambarkan betapa manja dan dimanjanya aku, si bontot itu, hehehe.


Setelah disini? Jauh dari keluarga apa yang kurasakan? Tentu merasa kehilangan dan tak bisa bermanja ria. Iyalah, mau manja pada siapa? Sedang disini aku benar sendiri, tak ada sanak saudara yang mungkin bisa kumintai tolong. Bermula dari sana aku bermisi untuk mempunyai teman yang banyak. Mulai sok kenal, sok deket, sok asik pada setiap orang yang kutemui disini. Oh iya, aku selain aku tak punya sanak saudara aku pun tidak kenal satu orang pun disini, kecuali kakak-kakak yang dulu sosialisasi ke sekolah.


Oke, singkat cerita aku pun mempunyai banyak teman. Tapi ada satu yang ku lupa. Aku lupa mencari sahabat. Aku cukup berteman baik dengan orang-orang disini, hanya saja aku lupa untuk meminta dan menawarkan diri pada orang yang mungkin bisa kupercaya untuk jadi sahabat. Itu kusadari setelah tinggal 1 tahun di sini. Ah, waktu yang cukup lama untuk menyadari kebodohan sendiri. Sampai pada akhirnya aku pun mulai terbuka pada teman-teman dekatku untuk berbagi cerita. Dan menjadikan mereka sahabat-sahabatku. Terima kasih kepada semua sahabat SMLL yang telah menjadi keluargaku disini. Semoga kebaikan akan tetap menyelimuti kita semua. Aamiin.


Kepada teteh tercintaku, Anggia Fitriana. Terima kasih atas canda tawanya, sungguh teteh orang baik, asik juga bijak. Dan terima kasih juga pada setiap orang serta setiap masalah yang kutemui dan kudatangi selama 2 tahun ini, yang telah mengajariku hidup yang sebenarnya hidup, mengajariku kedewasaan, mengajariku untuk berdiri di atas kedua kakiku sendiri.