Aku bukanlah
seseorang yang berasal dari keluarga terpandang. Aku terlahir dari keluarga
yang sederhana. Rumah orang tuaku dulunya adalah sebuah pabrik. Yang kemudian
dijadikan rumah karena tak lagi mampu untuk membayar uang sewa rumah. Pabrik
yang dulunya digunakan untuk berproduksi pun tak lagi beroperasi karena
kebangkrutann yang dialami ayah. Tapi ayah tak pernah menyerah. Ia mulai
mencari pekerjaan yang lain untuk menyambung hidup keluarganya. Ah iya, pabrik
ayah itu bukan pabrik seperti kebanyakan pabrik di jabodetabek lho. Pabrik itu
mempunyai luas “6 bata” (ini istilah di sunda, aku kurang begitu tau ukuran
pasnya dalam satuan meter), cukup besar memang hanya saja yang mampu untuk
ditinggali adalah setengah bagian pabrik. Karena pabrik itu sudah terlalu
sepuh, sehingga setengah bagian roboh karena dimakan usia, hehe. Setengah
bagian pabrik itu ayah renov hingga mempunyai dua kamar, satu ruang tamu, dapur
dan kamar mandi. Rumah kami tak berdindingkan tembok yang kokoh. Dinding rumah
kami begitu istimewa, ia banyak memiliki ruang ventilasi udara, sehingga jika
pagi datang, cahaya matahari dapat mudah masuk melalui celah-celah dinding
rumah kami. Ya, dinding rumah kami dari anyaman bambu (atau di sunda lebih
dikenal dengan bilik). Alas rumah pun bukan dari lantai atau tembok atau pun kayu,
alas rumah kami natural dari alas bumi pemberian Allah; tanah. Ini berlangsung
sampai aku berusia kurang lebih 12 tahun atau saat aku duduk di kelas 1 Mts.
Lalu apa yang kedua orang tuaku ajarkan selama 12 tahun itu? Sabar dan syukur.
Ah, aku meneteskan air mata untuk sampai pada dua kata itu. Hehehe
Aku adalah si
bontot, anak keempat dari empat bersaudara. Biarkan kuceritakan sedikit tentang
keistimewaan aku di keluargaku, hehehe
Aku anak
perempuan satu-satunya. Saudaraku semuanya berjenis kelamin laki-laki. Oke,
bisa dibayangkan dong, si bontot dan anak perempuan satu-satunya? Yap! Dimanja.
Tapi tak pernah aku suka kata “dimanja” itu, aku selalu mendoktrin diri bahwa
“aku bukanlah anak manja!” mungkin doktrin ini pula yang kemudian mengantarkan
aku ke kampus STEI SEBI ini. Seolah ini adalah pembuktian bahwa aku tidaklah
manja dan aku mampu untuk hidup mandiri, jauh dari orang tua.
Bukanlah satu
hal yang mudah tinggal jauh dari orang tua. Kini tak kupungkiri bahwa aku
memanglah manja dan dimanja. Masa lalu yang mungkin tidak berlimpah materi tapi
aku salah satu anak yang tidak pernah kehausan kasih sayang. Ayah, ibu ataupun
kakak selalu punya cara untuk bisa mengubah tangisku jadi tawa. Masih teringat
saat aku merengek meminta mainan yang semua anak seumuranku pasti mempunyai
mainan itu, tamagoci. Saat itu ayah dan ibu terus membujukku agar tidak terus
menangis, meminta agar aku tau bahwa ayah dan ibu sedang tidak mempunyai uang
untuk membelikan aku tamagoci itu, tapi dulu aku masih kecil dan tidak mengerti
akan kondisi keluarga saat itu. Setelah ayah dan ibu tak mampu menghentikan
tangisku, giliran kakak menepuk punggungku, “neng, ikut aa yuk! Aa beliin
tamagoci deh buat neng, tapi neng jangan nangis lagi ya!’. Seketika aku
menganggukan kepala. Dan aku baru tau kalau kakak membelikanku tamagoci itu
dari uang iuran sekolah yang sebenarnya sudah ditagih oleh pihak sekolah. Tapi
aku tak tau bagaimana cara kakak untuk menutupi kekurangan uang iurann itu.
Mungkin itu bisa menggambarkan betapa manja dan dimanjanya aku, si bontot itu,
hehehe.
Setelah disini?
Jauh dari keluarga apa yang kurasakan? Tentu merasa kehilangan dan tak bisa
bermanja ria. Iyalah, mau manja pada siapa? Sedang disini aku benar sendiri,
tak ada sanak saudara yang mungkin bisa kumintai tolong. Bermula dari sana aku
bermisi untuk mempunyai teman yang banyak. Mulai sok kenal, sok deket, sok asik
pada setiap orang yang kutemui disini. Oh iya, aku selain aku tak punya sanak
saudara aku pun tidak kenal satu orang pun disini, kecuali kakak-kakak yang dulu
sosialisasi ke sekolah.
Oke, singkat
cerita aku pun mempunyai banyak teman. Tapi ada satu yang ku lupa. Aku lupa
mencari sahabat. Aku cukup berteman baik dengan orang-orang disini, hanya saja
aku lupa untuk meminta dan menawarkan diri pada orang yang mungkin bisa
kupercaya untuk jadi sahabat. Itu kusadari setelah tinggal 1 tahun di sini. Ah,
waktu yang cukup lama untuk menyadari kebodohan sendiri. Sampai pada akhirnya
aku pun mulai terbuka pada teman-teman dekatku untuk berbagi cerita. Dan
menjadikan mereka sahabat-sahabatku. Terima kasih kepada semua sahabat SMLL
yang telah menjadi keluargaku disini. Semoga kebaikan akan tetap menyelimuti
kita semua. Aamiin.
Kepada teteh
tercintaku, Anggia Fitriana. Terima kasih atas canda tawanya, sungguh teteh
orang baik, asik juga bijak. Dan terima kasih juga pada setiap orang serta
setiap masalah yang kutemui dan kudatangi selama 2 tahun ini, yang telah
mengajariku hidup yang sebenarnya hidup, mengajariku kedewasaan, mengajariku
untuk berdiri di atas kedua kakiku sendiri.